Showing posts with label Keuangan. Show all posts

URGENT! Pemanggilan Megawati oleh KPK soal BLBI


SEJAK pemerintah menandatangani penyelesaian kewajiban obligor BLBI melalui perjanjian MSAA, MRNIA, dan PKPS, saya sudah mencium banyak hal ketidakberesan. Hal itu disebabkan saya mengetahui adanya manipulasi aset yang diserahkan obligor BLBI ke BPPN.

Bentuk manipulasi itu dimulai dari cara menilai harga aset, kondisi penilaian, dan siapa penilainya. Saat mereka serahkan, sebagian aset yang memang busuk itu dinilai dengan harga tinggi. Dan saat mereka beli kembali melalui berbagai cara, walau dilarang, mereka hargai dengan rendah.

Tentu saja bukan sekadar manipulasi aset, mereka pun tidak menyerahkannya atau menjualnya lebih dulu sehingga tidak termasuk dalam daftar aset yang wajib diserahkan disebabkan oleh kewajiban yang bersangkutan kepada BPPN.

Isu ini menguat disebabkan gagas tentang MSAA dan MRNIA datang dari pihak asing dan karenanya dibuat sebagai dokumen rahasia negara berbahasa Inggris. Saya sendiri mengusulkan, jika memang banyak pihak keberatan, kenapa perjanjian yang merugikan itu tidak dimohonkan pembatalannya di pengadilan. Gugatan-gugatan kritis ini tidak berguna. Pemerintah dan DPR reformasi lebih asyik mengunyah isu reformasi politik dan ekonomi, yang di dalam isu reformasi ekonomi terdapat masalah krusial.

Salah satu isu krusial itu adalah unsur pidana dalam penyelesaian kewajiban obligor. Model penyelesaian kewajiban obligor-obligor itu jelas mengutamakan penyelesaian perdata dan mengabaikan pidana. Karena itu kekuasaan politik waktu menerbitkan Ketetapan MPR, UU Propenas, Inpres agar restrukturisasi ekonomi berjalan sesuai dengan arahan IMF.

Hasilnya adalah tingkat pemulihan restrukturisasi ekonomi yang dilaksanakan BPPN mencapai sekitar 14 persen dari total BLBI Rp144,536 T. Tentu saja orang marah dan terganggu rasa keadilannya. Ini disebabkan dari total penyaluran BLBI tersebut, potensi kerugian negara menurut audit investigatif BPK mencapai Rp 138,442 T atau sekitar 97,78 persen. Sedangkan dari BLBI yang dialihkan menjadi kewajiban Pemerintah, ditemukan penyimpangan sebesar Rp 84,842 T atau sekitar 58,7 prosen. Rasa keadilan masyarakat makin cidera terutama setelah masyarakat menyaksikan, para obligor BLBI itu sebagian besar kembali masuk bagian daftar 40 orang terkaya menurut majalah Forbes.

Dari sinilah orang bertanya-tanya, apakah layak Syafruddin A Temenggung memberikan Released and Discharge (RnD) berdasarkan keputusan Sidang Kabinet yang dipimpin Presiden Megawati waktu itu ?

Sejak 1998/1999 saya menyebutkan, model penyelesaian perdata saja pada BLBI tanpa tambahan tuntutan ganti rugi akan menimbulkan cideranya rasa keadilan masyarakat. Apalagi penyelesaian perdata itu ditutup dengan perjanjian bahwa setelah dianggap lunas, maka Pemerintah menerbitkan surat pembebasan dan pengampunan (released and discharge).

Jika kini KPK mengundang Megawati untuk masalah BLBI, sesungguhnya bukan karena sebabnya BLBI, tapi restrukturisasinya, termasuk penjualan aset, divestasi, dan R n D. Saya sendiri menolak  restrukturisasi perbankan pada bank yang diambil alih dengan cara divestasi. Banyak argumen untuk hal ini yang saat itu di bawah Budiono sebagai Menkeu dan Dorodjatun Kuntjoro-jakti sebagai Menko Perekonomian tidak peduli dengan penolakan tersebut.

Bagi mereka yang terpenting menjalankan perintah IMF yang kemudian IMF sendiri mengakui salah dalam memberikan rekomendasi dan arahan restrukturisasi perkeonomian Indonesia.

Tentu saja pemanggilan Megawati ke KPK soal BLBI menjadi krusial. Karena secara hukum, Megawati sebagai Presiden RI hanya menjalankan TAP MPR, UU Propenas, UU APBN, PP 17/99, Inpres, dan didukung oleh Fatwa MA. Tapi ketika masuk ke persoalan cara-cara merestukturisasi, Megawati memang layak ditanya KPK terutama yang berkaitan dengan unsur pidana penyerahan aset ke BPPN, penjualan aset yang akhirnya dimiliki kembali oleh obligor BPPN, juga kenapa menolak usulan berbagai kalangan bahwa restrukturisasi adalah tidak sekadar menjual aset.

Bayangkan, saat banknya ambruk, pemegang saham membiarkan Pemerintah mengambil alih dan menginjeksi modal dengan surat utang. Tapi setelah bank itu nampak sehat dan menguntungkan, pemegang saham lama membeli kembali bank tersebut. Itu terjadi di era Megawati karena sejumlah Menterinya patuh pada perintah IMF sehingga negara dan akhirnya masyarakat dirugikan berkali-kali.

Selain masalah pidana, untuk kerugian yang antara lain seperti inilah, Megawati perlu ditanya sehingga masyarakat mengerti siapa sebenarnya kelompok masyarakat yang biasa berkuasa di bidang ekonomi namun selalu menimbulkan kerugian material dan penyimpangan konstitusi. Masyarakat berharap pemanggilan ini bukan dalam rangka peningkatan citra KPK, tapi lebih pada keinginan menegakkan keadilan karena dalam R n D sendiri disebutkan peluang pencabutan pembebasan dan pengampunan jika di kemudian hari ditemukan persoalan pidana.

Mudah-mudahan rasa keadilan masyarakat menjadi utuh setelah terkoyak karena 10 tahun kebijakan ekonomi liberal telah memperpuruk perkeonomian bangsa yang berdaulat dan bermartabat.[Ichsanuddin Noorsy]

*Penulis merupakan staf peneliti pusat studi ekonomi kerakyatan (Pustek), mantan wartawan

source: RMOL

Harga Elpiji 12 Kg Naik 68 Persen Menjadi Rp 117.708


















PT Pertamina (Persero) per 1 Januari 2014 menaikkan harga elpiji nonsubsidi tabung 12 kg sebesar 68 persen.

Wakil Presiden Komunikasi Perusahaan Pertamina Ali Mundakir di Jakarta, Rabu (1/1/2014), mengatakan, kenaikan harga itu dilakukan untuk menekan kerugian bisnis elpiji 12 kg yang rata-rata Rp 6 triliun per tahun.

"Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2014 pukul 00.00, Pertamina memberlakukan harga baru elpiji nonsubsidi 12 kg secara serentak di seluruh Indonesia dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp 3.959 per kg," katanya.

Menurut Ali, besaran kenaikan di tingkat konsumen itu akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun elpiji ke titik serah (supply point).

Dengan kenaikan Rp 3.959 per kg tersebut, maka kenaikan harga per tabung elpiji 12 kg mencapai Rp 47.508. Sebelum kenaikan, harga elpiji 12 kg adalah Rp 5.850 per kg atau Rp 70.200 per kg, yang berlaku sejak 2009. Dengan demikian, harga elpiji 12 kg akan menjadi Rp 117.708 per tabung.

Ali mengatakan, setelah kenaikan harga, Pertamina masih merugi Rp 2.100 per kg. "Sebab, harga pokok perolehan elpijinya sudah mencapai Rp 10.785 per kg," katanya.

Kerugian bisnis elpiji 12 kg yang ditanggung Pertamina dilatarbelakangi oleh harga pembelian sesuai pasar dan penurunan nilai tukar rupiah.

Pada 2013, Pertamina mencatat penjualan elpiji 12 kg mencapai 977.000 ton dengan harga pokok perolehan rata-rata 873 dollar AS per ton.

Dengan angka-angka itu, maka perkiraan kerugian Pertamina pada 2013 mencapai Rp 5,7 triliun. "Kerugian ini tentunya tidak sehat secara korporasi karena tidak mendukung Pertamina dalam menjamin keberlangsungan pasokan elpiji kepada masyarakat," ujarnya.

Ali juga mengatakan, kenaikan harga merupakan tindak lanjut rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebut kerugian bisnis elpiji nonsubsidi pada 2011-Oktober 2012 sebesar Rp 7,73 triliun sebagai kerugian negara.

Selain itu, lanjutnya, pihaknya telah melaporkan kenaikan harga kepada Menteri ESDM Jero Wacik sesuai amanat Pasal 25 Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas.

Ia menambahkan, dengan pola konsumsi elpiji 12 kg masyarakat, kenaikan harga tersebut akan memberikan dampak tambahan pengeluaran sampai Rp 47.000 per bulan atau Rp 1.566 per hari.

"Kami meyakini, kenaikan ini tidak akan banyak berpengaruh pada daya beli masyarakat, mengingat konsumen elpiji 12 kg adalah kalangan mampu," katanya.

Sementara itu, untuk konsumen ekonomi lemah dan usaha mikro, pemerintah telah menyediakan elpiji tiga kg bersubsidi yang harganya lebih murah.

Ia melanjutkan, Pertamina telah mengembangkan sistem monitoring penyaluran elpiji 3 kg (simol3k) yang akan mengatasi kekhawatiran migrasi konsumen 12 kg ke 3 kg pascakenaikan.

Sistem telah diimplementasikan secara bertahap di seluruh Indonesia mulai Desember 2013. "Dengan adanya sistem ini, kami dapat memonitor penyaluran elpiji 3 kg hingga level pangkalan berdasarkan alokasi daerahnya," ujarnya. [kompas]